Surat Gembala, 4 SEPTEMBER 2016
Tidak ada hal yang lebih prinsip dalam hidup ini selain “berkenan kepada Bapa”. Hal ini lebih prinsip dari nyawa. Lebih baik tidak pernah memiliki nyawa kehidupan dan menjadi manusia dari pada memiliki nyawa kehidupan tetapi tidak hidup berkenan di hadapan Allah. Justru keagungannya entitas manusia sebagai citra Allah atau mahkota ciptaan Allah, adalah ketika manusia hidup berkenan di hadapan-Nya. Untuk menjadi seorang yang berkenan kepada Bapa, seseorang harus mengerti dan melakukan kehendak-Nya. Untuk mengerti kehendak Allah seseorang harus memasuki fase dimana selalu mempersoalkan apakah yang dilakukan sesuai dengan keinginan Bapa; sesuai dengan selera-Nya atau tidak. Hal ini harus dipraktikkan mulai dari hal-hal sederhana yang terjadi dalam kehidupan ini. Hal-hal kecil yang selama ini lolos dari evaluasi, harus mulai dievaluasi dengan teliti, apakah sesuatu yang dilakukan bukan saja tidak melanggar hukum, tidak melukai sesama, tetapi apakah bisa menyenangkan hati Tuhan atau mendukakan-Nya. Kalau dulu sebagai seorang yang tidak sungguh-sungguh mau menjadi anak Tuhan, tidak mempersoalkan hal ini, sebab standar kebenaran yang dibangun hanyalah standar moral secara umum. Asalkan tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum norma umum. Mereka sudah merasa sebagai anak-anak Tuhan yang baik. Padahal Tuhan Yesus menghendaki agar orang percaya memiliki hidup yang luar biasa dalam kelakuan (Mat. 5:20). Kalau hanya standar seperti yang dikemukakan di atas (yang penting tidak melanggar hukum moral umum), maka orang-orang di luar orang Kristen pun cakap melakukannya. Malah Ironinya justru dalam kehidupan orang Kristen sering dijumpai sikap yang tidak peduli terhadap sesama. Biasanya orang-orang Kristen seperti ini memiliki banyak alasan untuk membela tindakannya. Walaupun yang dilakukan menyakiti sesama ia lakukan asalkan hatinya sendiri senang. Menyenangkan diri sendiri adalah belenggu yang akhirnya tidak bisa dilepaskan kalau tidak segera dilepaskan sejak dini. Orang seperti ini tidak pernah menjadikan Yesus Kristus sebagai Tuhan-Nya. Dalam hal ini keuntungan pribadi mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan. Orang-orang ini walau mengaku orang percaya tidak akan masuk Kerajaan Surga sebab ia tidak melakukan kehendak Bapa (Mat 7:21-23).
Pada tahap-tahap awal belajar menyukakan hati Bapa seseorang harus selalu menaruh kecurigaan terhadap segala sesuatu yang dilakukan. Jangan-jangan hal yang dilakukan itu mendukakan hati Bapa. Kalau seseorang berkata kepada Tuhan: “selidiki aku ya Tuhan”, itu artinya ia bersedia mengoreksi diri dengan seksama. Sebab untuk seseorang mengenali keadaan dirinya tidak bisa terjadi secara otomatis kalau ia tidak serius mempersoalkannya. Untuk ini harus selalu ada pertanyaan: apakah dengan melakukan sesuatu hal, hati Bapa disukakan? Apakah hal itu membuat Bapa tersenyum? Senyuman Allah Bapa adalah satu-satunya tujuan hidup; the smile of God is the only goal of our life. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan pelayanan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Inilah pula yang disebut memuliakan Allah dalam segala hal (1Kor 10:31). Memuliakan Tuhan artinya membuat Tuhan mulia atau menghormati Allah. Penghormatan tersebut dalam bentuk tindakan dimana segala sesuatu yang dilakukan menyukakan hati Tuhan. Ini adalah upeti kehidupan yang bernilai kekal. Persembahan kepada Tuhan bukanlah sekadar pergi ke gereja hari minggu, memberi persepuluhan atau melakukan kegiatan pelayanan. Bahkan tidak cukup menjadi fulltimer gereja. Segala sesuatu yang dilakukan seorang anak Tuhan yang menyukakan hati Allah Bapa adalah persembahan yang berbau harum lebih dari persembahan apa pun. Kalau seseorang hendak membuat hidupnya penuh keharuman di hadapan Allah Bapa, maka segala tindakannya tidak boleh melukai hati Bapa. Amin
“UNTUK MENJADI SEORANG YANG BERKENAN KEPADA BAPA, SESEORANG HARUS MENGERTI DAN MELAKUKAN KEHENDAK-NYA.”
Berita Terbaru