Surat Gembala, 7 Agustus 2016
Persoalan penting yang harus ditemukan jawabannya hari ini adalah bagaimana kita bisa mengenakan iman yang benar pada zaman ini. Iman adalah penurutan terhadap kehendak Allah. Kehendak Allah di sini bukan hanya diwakili oleh hukum-hukum yang tertulis, tetapi kehendak-Nya dalam situasi konkret hidup orang percaya tersebut. Kalau keberimanan hanya dikaitkan dengan melakukan hukum dan ibadah atau seremonial agama, maka kekristenan tidak berbeda dengan banyak agama lain. Di sini dalam keberimanan, seseorang dituntut mengenal Allah secara memadai dan memiliki hubungan pribadi yang benar-benar interaktif, sehingga setiap individu bisa mengerti kehendak Allah dalam hidupnya secara pribadi, dalam konteks hidupnya yang sangat khusus, tidak sama dengan orang lain. Selain itu orang beriman harus dapat mengerti rencana Allah dalam hidupnya untuk digenapi.
Mengamati hal keberimanan, maka kalau jujur, banyak orang Kristen belum beriman dengan benar. Pada umumnya orang-orang Kristen merasa sudah beriman sebab mereka sudah mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Itu sebenarnya belum berarti sudah percaya dan beriman kepada Tuhan Yesus. Itu hanya memercayai identitas-Nya. Memercayai identitas seseorang belum berarti memercayai pribadi orang itu.
Orang Kristen merasa sudah beriman atau percaya kepada Tuhan Yesus hanya karena mengerti Injil dan memercayai sejarah mengenai Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Tidak cukup dengan memercayai sejarah hidup Tuhan Yesus berarti sudah menaruh iman atau percaya kepada-Nya. Orang yang mengenal sejarah Mr. Obama dan memercayai sejarah hidupnya belum tentu memercayai dirinya. Hal ini harus membuka mata kita untuk melihat, sebenarnya apakah kita sungguh-sungguh telah memiliki iman kepada Tuhan Yesus. Banyak gereja dan pembicaranya menyesatkan umat Tuhan, sebab melegalisir mereka sebagai orang beriman hanya karena mereka memiliki pengakuan atas identitas dan sejarah Tuhan Yesus yang ditunjukkan dengan mengikuti liturgi gereja setiap Minggu.
Sebagai akibat dari keadaan di atas, membuat mereka tidak sungguh-sungguh berusaha mengenal Tuhan secara memadai dan tidak berjuang untuk memiliki hubungan konkret interaktif dengan Tuhan. Sebagai akibatnya, mereka sebenarnya tidak pernah mengenal Tuhan Yesus secara pribadi, tidak memiliki kepekaan untuk mendengar suara-Nya dan mengerti kehendak serta rencana-Nya. Jemaat tidak mempersoalkan apa rencana Tuhan dalam hidup mereka secara pribadi. Mereka masih memiliki hidup mereka sendiri dan bergaya hidup seperti anak-anak dunia lainnya. Mereka hidup wajar seperti manusia lain dan gereja tidak memberi peringatan yang tegas, karena pelayan-pelayan jemaat juga tidak memiliki kehidupan beriman yang benar. Mereka memiliki teologia atau pengetahuan mengenai Tuhan, tetapi tidak menemukan Tuhan.
Dengan kondisi orang Kristen yang tidak memiliki iman yang benar ini, maka mereka tidak pernah menjadi saksi bagi Kristus. Kekristenan tidak memiliki keistimewaan atau keunggulan dibanding dengan agama-agama lain. Tidak jarang justru sebaliknya, orang Kristen menjadi cemoohan bagi banyak orang di luar gereja, ketika terjadi banyak perbuatan asusila di tengah-tengah jemaat dan para rohaniwannya, ketika gereja dan para pejabatnya disinyalir menyelenggarakan pelayanan karena uang dan lain sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan orang Kristen mula-mula yang dalam kesederhanaan mereka hanya belajar menjadi seperti gurunya, sehingga mereka disebut Kristen, yang artinya seperti Kristus. Menjadi seperti Kristsus juga dalam jangkauan pandangnya. Mereka sangat menantikan kedatangan Tuhan sampai disebut sebagai eskatomania, artinya maniak atau ekstrim dan fanatik dalam menantikan kedatangan Tuhan. Langit baru dan bumi barulah yang menjadi kerinduan kuat mereka. Amin.
” Dalam keberimanan, seseorang dituntut mengenal Allah secara memadai dan memiliki hubungan pribadi yang benar-benar interaktif, sehingga setiap individu bisa mengerti kehendak Allah dalam hidupnya secara pribadi.”
Berita Terbaru