Surat Gembala, 17 September 2017
Saudaraku,
Salah satu ciri dari seorang yang hidup baru dalam Tuhan adalah tidak lagi memiliki keinginan-keinginan dari diri sendiri. Dulu, kalau saya mendengar khotbah yang mengatakan bahwa keinginan harus ditanggalkan, saya memprotes baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Bagaimana bisa manusia tidak boleh memiliki keinginan? Namanya juga manusia, harus mempunyai keinginan dan cita-cita. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu dan pertumbuhan kedewasaan rohani, saya mengerti dan menerima bahwa semua keinginan harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan keinginan diri sendiri yang disalibkan atau ditanggalkan. Hal ini adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan oleh setiap orang yang telah ditebus oleh darah-Nya.
Sudah terlalu lama kita terbiasa hidup dalam berbagai hasrat dan keinginan, dan hal ini kita anggap sebagai suatu kewajaran. Tetapi kalau kita mengerti dan menerima bahwa kehidupan ini diciptakan oleh suatu Pribadi yang memiliki kehendak atau keinginan, Pribadi yang memiliki pikiran dan perasaan, maka kita harus mulai mempertimbangkan: Apakah kita boleh sebebas-bebasnya mengumbar keinginan kita tanpa mempertimbangkan apakah keinginan tersebut sesuai dengan kehendak, pikiran dan perasaan Tuhan? Harus dipahami bahwa sikap hidup dan segala gerak kehendak, pikiran dan perasaan orang percaya sebagai anak-anak Tuhan sangat memengaruhi hati atau perasaan-Nya.
Saudaraku,
Sebelum kita bertobat dan mengikut Tuhan Yesus, kita merasa memiliki diri kita sendiri. Kita seperti Petrus yang masih muda yang “mengikat pinggang sendiri dan berjalan ke mana saja kita kehendaki”, tetapi setelah kita tua atau makin dewasa rohani kita harus mengulurkan tangan dan orang lain yang akan mengikat kita dan membawa kita ke tempat yang tidak kita kehendaki. Inilah yang dimaksud dengan kehendak yang disalibkan. Fenomena ini sejajar dengan doa Tuhan Yesus yang berbunyi: Bukan kehendak-Ku yang jadi, tetapi kehendak-Mu. Hal ini merupakan pelaksanaan dari Doa Bapa Kami yang berbunyi: Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.
Saudaraku,
Dalam kehidupan ini, kehendak Tuhanlah yang harus berdaulat secara penuh. Kita sebagai hamba-hamba-Nya harus memberi diri tunduk terhadap kedaulatan dan otoritas-Nya secara penuh. Inilah kehidupan dalam ketaatan penuh. Manusia memang dirancang untuk ini sejak manusia itu diciptakan. Karyawan yang tidak tunduk kepada perusahaan saja bisa dipecat, apalagi makhluk ciptaan di hadapan Penciptanya.
Cepat atau lambat, setiap insan akan tiba pada suatu saat di mana ia tidak akan memiliki keinginan apa pun, atau dipaksa tidak memiliki keinginan apa pun. Saat itu terjadi ketika seseorang akan tutup usia, di mana seluruh organ tubuh sudah tidak dapat dipakai lagi, atau pada suatu keadaan fisik -entah karena kecelakaan atau sakit- sehingga tidak bisa berfungsi lagi. Di saat seperti itu seseorang tidak akan mampu memiliki keinginan apa pun, kecuali Tuhan yang dapat menjadi sahabat abadi. Di saat seperti itu kita baru menghayati bahwa kekayaan adalah mammon yang tidak jujur atau menipu. Kekayaan bisa menjadi alat Iblis yang sangat efektif dan berdaya guna membinasakan manusia.
Saudaraku,
Sebelum kita ada dalam situasi di mana segala keinginan harus ditanggalkan, sekarang kita sudah belajar dengan rela dan sukacita menanggalkan segala keinginan dan mengenakan filosofi: makananku adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Inilah gaya hidup yang Tuhan Yesus ajarkan. Dan setiap orang percaya wajib hidup sama seperti Dia hidup. Ketika kita menjadi orang percaya, gaya hidup inilah yang Tuhan kehendaki kita kenakan dalam kehidupan ini. Itulah sebabnya dikatakan dalam Firman Tuhan bahwa Yesus “menjadi yang sulung di antara banyak saudara”. Dia sebagai teladan atau yang memulai dan kita meneladani atau mengikuti-Nya. Dalam hal ini yang diikuti adalah kesediaan hidup dalam ketertundukan terhadap otoritas Bapa.
Teriring salam dan doa dari saudaramu,
Erastus
Berita Terbaru