Surat Gembala, 9 Mei 2016
Banyak orang berpikir, bahwa perbuatan dosa (luncas) adalah jika seseorang telah melakukan pelanggaran hukum dan norma yang ada. Seseorang dianggap baik jika mereka lolos dari ukuran moral secara umum, tidak mencuri, tidak berzinah, bermoral baik, berprestasi dalam banyak hal. Demi status ini, ada sebagian orang berusaha dengan segenap kekuatannya untuk mendapatkannya. Bagi orang-orang seperti ini, dunia berani memberi label sebagai orang yang “tak berdosa”. Inilah filosofi yang digulirkan oleh dunia hari ini yaitu, “hidup sewajar-wajarnya”, yang penting tidak melanggar hukum dan norma yang ada. Hal itu telah menjadi sebuah pusaran besar yang memiliki daya hisap yang kuat. Tanpa disadari, banyak orang percaya telah terhisap ke dalam pusaran ini. Adalah wajar, jika seseorang mengurus rumah tangga, bisnis, sekolah, kuliah bermasyarakat dan sebagainya. Tentu demikianlah seharusnya. Akan tetapi, semua itu menjadi tidak wajar, jika seluruh aktivitas yang dilakukan mengabaikan perasaan Tuhan. Jika demikian, apakah standar kewajaran hidup orang percaya?
Bagi seseorang mengaku sebagai pengikut Kristus, maka satu-satunya standar kewajaran hidup hanyalah hidup Kristus sendiri dan suka atau tidak, hal ini harus diterima. Di dalam hidup-Nya, Kristus telah memeragakan cara hidup yang tidak lazim menurut pandangan orang pada umumnya, tetapi justru itulah yang berkenan bagi Allah Bapa (Yoh. 4: 34). Kristus telah memilih untuk tidak hidup bagi dirinya sendiri. Ia telah “mencabut nyawa-Nya” sendiri dengan sadar. Inilah model hidup wajar yang Tuhan Yesus sendiri telah teladankan.
Ironis memang, bahwa ternyata selama ini banyak di antara orang yang mengaku percaya, tetapi di dalam penyelenggaraan hidupnya, justru berlawanan dengan cara hidup Kristus. Orang percaya telah terhisap ke dalam cara hidup wajar yang digulirkan oleh dunia, yaitu hidup nyaman tanpa Tuhan, pun seandainya Tuhan dilibatkan hanya dijadikan “atribut rohani” saja. Ini adalah tindakan kejahatan yang tidak pernah disadari oleh banyak orang percaya. Orang percaya hanya ‘membeo’ saja apa kata dunia, tetapi tidak ‘membeo’ apa kata Tuhan. Ingat, Tuhan adalah Pribadi Agung yang memiliki perasaan, Ia adalah Pribadi yang pencemburu. Oleh sebab itu, jangan duakan hati-Nya. Sebenarnya, hidup wajar seperti yang Kristus ajarkan, tidak hendak merampas kebahagiaan seseorang, tetapi justru memberikan kesempatan supaya seseorang bisa meraih kewajaran yang berkualitas kekal. Kualitas kita ada pada Tuhan sendiri, sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Rom.11:36). Tuhan adalah pemegang hak penuh atas ciptaan-Nya. Segala sesuatu bergulir atas kehendak dan kuasa-Nya dan bermuara kepada Dia Sang Penguasa atas semesta termasuk manusia di dalamnya. Dalam hal ini, yang perlu dipahami bagi manusia adalah, bahwa dalam keagungan-Nya, Allah telah melepaskan kehendak bebas bagi seluruh eksistensi manusia. Itulah kemulian yang Allah berikan kepada manusia dimana hal tersebut tidak diberikan kepada ciptaan yang lain (binatang dan tumbuhan). Melalui kehendak bebas inilah, manusia diberi kesempatan untuk membangun hubungan ilahi dengan sengaja dan sadar kepada Allah.
Demi sebuah kewajaran hidup anak-anak Allah, maka Kristus telah rela menjadi ‘tumbal’ (Rom. 5:8). Betapa jahatnya jika seseorang dengan sadar membangun kewajaran hidupnya menurut apa kata dunia. Oleh sebab itu, mari kita kerahkan seluruh potensi hidup yang kita miliki demi hidup wajar seperti yang Allah kehendaki yaitu, hidup kudus dan tak bercacat cela bagi kemuliaan Allah Bapa di dalam Kristus Yesus. Amin.
“Betapa jahatnya jika seseorang dengan sadar membangun kewajaran hidupnya menurut apa kata dunia.”
Berita Terbaru