Surat Gembala, 26 Juni 2016
Kekristenan adalah proses mengajar dan belajar. Alah yang mengajar dan orang percaya yang diajar atau dididik ( Ibr. 12:5-11 ). Ada pun tujuan dari proses ini adalah, dikembalikannya manusia kepada rancangan Allah semula atau dalam kalimat yang lain, mengambil bagian dalam kekudusan Allah (12:10) atau mengenakan kodrat Ilahi (2Pet, 1:3-4). Itu sebabnya, setiap orang percaya harus menjalani proses yang disebut sebagai ‘dimuridkan’ supaya terjadi pembaruan terus-menerus, bertahap dan ketat sampai kepada kesempurnaan yang Allah kehendaki (Mat. 5:48).
Kesempurnaan hidup atau iman seseorang harus mengacu kepada role model (teladan) sebagaimana yang telah Injil sampaikan, yaitu Kristus Yesus Tuhan (Rom. 8:28-29). Untuk mencapai tujuan ini, maka setiap orang percaya harus memilik pikiran dan perasaan Kristus ( Fil. 2:5-7). Hanya dengan cara seperti inilah orang percaya akan mampu memiliki kesucian hidup tanpa harus dibayang-bayangi oleh hukum-hukum dan peraturan, tetapi menjadikan Tuhan sebagai hukum dalam dirinya. The lord is my law. Inilah yang dimaksud sebagai hidup di dalam Roh.
Proses keselamatan ini sama halnya dengan menemukan kemuliaan yang telah hilang. Kata ‘kehilangan’ dalam Roma 3:23 dalam teks aslinya menggunakan kata, hustere? (???????). Kata hustere?, ini selain berarti kehilangan, juga berarti kekurangan atau membutuhkan. Manusia harus menemukan apa yang kurang atau hilang dalam dirinya. Sebenarnya, inilah kebutuhan yang paling mendesak dalam diri setiap manusia, tetapi tidak banyak orang yang memahami akan hal tersebut. Manusia telah kehilangan sesuatu yang paling hakiki dalam dirinya yaitu, keagungannya sebagai makhluk ilahi warisan kekal dari Allah (kemuliaan Allah). Namun demikian, menusia tidak menyadarinya dan telah tersesat, celaka dalam pencariannya yaitu ke dalam dunia yang akan dibinasakan oleh Allah. Manusia telah menggulirkan hidupnya sebagai insan manusiawi dengan gairah duniawinya, kemapanan dan kenyamanan hidup sebagai fokus dan tujuannya. Pencarian akan kemuliaan Allah yang hilang, telah terkorupsi oleh sifat egois manusia itu sendiri. Kemuliaan yang dicari adalah kemuliaan bagi dirinya sendiri, bukan kemuliaan Allah. Ibarat penyakit, keadaan ini telah menjadi kronis dan membutuhkan waktu yang panjang serta keinginan yang kuat untuk sembuh. Mengingat waktu yang terus berjalan serta ketidakpastian akan datangnya hari kematian, maka tidak ada cara lain bagi orang percaya untuk sesegera mungkin berbenah diri demi ditemukannya kemuliaan Allah yang telah hilang itu.
Paulus mengalimatkan hal tersebut dengan “kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Fil.2: 12). Kalimat “takut dan gentar” hendak menunjukan bahwa, proses untuk menuju kepada keadaan selamat (dikembalikan kepada rancangan Allah semula) sangat mendesak dan tidak mudah. Namun, jika Allah telah mengerjakan terlebih dahulu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya, tetapi bukan berarti bahwa, manusia tinggal angkat kaki dan ongkang-ongkang saja, maka keselamatan boleh terwujud. Jika Allah telah mengerjakan terlebih dahulu, maka tugas kita orang percaya harus meneruskan “niat mulia” dari Allah untuk menyelamatkan manusia dengan dengan cara, mempertaruhkan segenap hidup yaitu, waktu, tenaga, pikiran, harta, kehormatan dan bahkan nyawa sekalipun. Allah telah menginvestasikan 100% eksistensi-Nya, maka dari pihak kita pun juga harus demikian adanya (IKor.6: 20, 7:23). Selamat berjuang untuk menemukan kembali kemuliaan Allah yang telah hilang itu. Amin
“Manusia telah kehilangan sesuatu yang paling hakiki dari dalam dirinya yaitu, keagungannya sebagai makhluk ilahi warisan kekal dari Allah.”
Berita Terbaru