Surat Gembala, 17 April 2016
Jika ditinjau secara moral umum, manusia bukanlah makhluk yang rusak total atau mutlak seperti yang banyak dideskripsikan oleh beberapa teolog. Mengapa mereka memiliki pandangan seperti itu? Tentu mereka memiliki tujuan, yaitu untuk ‘melengkapi’ pandangan mereka bahwa, manusia dengan keadaannya tidak sanggup meresponi anugerah Allah. Jadi melalui pernyataan ini hendak diletakkan sebuah dasar pemahaman bahwa, keselamatan terjadi sepihak dari Allah saja tanpa adanya respon dari manusia sebagai obyek dari proyek keselamatan itu sendiri. Manusia dipandang tidak layak menerima keselamatan dan jika ada, itu pun hanya sebagian saja atau orang-orang tertentu saja. Pandangan merasa terdorong untuk menjaga wibawa dan kedaulatan Allah secara absolut. Jika ada pandangan yang mengatakan bahwa manusia masih memiliki kehendak bebas, maka hal tersebut dianggap sebagai melecehkan wibawa dan kedaulatan Allah.
Apakah betul demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memiliki pengertian yang benar terlebih dahulu tentang yang dimaksud arti keselamatan itu sendiri. Keselamatan adalah “usaha Allah untuk mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya yang semula” yaitu serupa dan segambar dengan diri-Nya, supaya terjadi interaksi yang ilahi antara manusia dengan Allah (Kej. 1_26-27, 5:3, 9:6). Mengapa manusia harus dikembalikan kepada rancangan semula?
Kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3:6), telah merusak gambar dan citra Allah di dalam diri manusia tersebut, sehingga hubungan atau interaksi manusia dengan Allah telah rusak, meminjam kalimat surat Roma 3:23, sebagai “kehilangan kemuliaan Allah”. Walaupun manusia telah dikatakan mati, tetapi manusia masih dapat berkomunikasi dengan Allah, seperti Henokh, Abraham, Musa, dan Elia, mereka semua masih dapat mengalami bagaimana bergaul karib dengan Tuhan. Pada rancangan semula, Allah menghendaki manusia di dalam melakukan seluruh aktivitasya itu merupakan bentuk ibadahnya kepada Allah, God oriented (Kej. 2:15-16), tetapi akibat dosa, manusia menjadi self oriented. Manusia mau mencari Allah, tetapi bukan untuk memuliakan-Nya melainkan Allah ‘dimanfaatkan’ untuk mencukupi segala keinginan dosanya. Keberadaan Allah, diukur dari apa yang dapat dihasilkan dan dinikmati di dalam kebertuhanannya. Sakit sembuh, ekonomi lancar, enteng jodoh, enteng rezeki dan sebagainya. Manusia, telah mewarisi sifat dasar nenek moyangnya, yaitu hidup wajar sebagai manusia pada umumnya. Seluruh potensi hidupnya digunakan hanya untuk memuaskan hawa nafsunya dan sikap ini sangat mengecewakan hati Bapa.
Manusia telah kehilangan arah dan rujukan cara hidup yang berkenan kepada Allah, terpujilah nama Allah. Tuhan Yesus telah memeragakan standar hidup yang Allah kehendaki. Jika tidak ada alasan lagi bagi manusia untuk menolak pernyataan hendaklah engkau sempurna sebab Bapamu yang di surga sempurna. Kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib telah melepaskan manusia dari tuntutan hukum maut, tetapi melalui kehidupan-Nya, Ia meninggalkan jejak standar hidup yang benar di hadapan Allah Bapa. Untuk itulah kita dipanggil untuk menjadi orang percaya yaitu, mengikuti jejak dan teladan hidup-Nya sebagai standar hidup yang memuaskan hati Bapa. Amin.
“Kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib telah melepaskan manusia dari tuntutan hukum maut, tetapi melalui kehidupan-Nya, Ia meninggalkan jejak standar hidup yang benar di hadapan Allah Bapa.”
Berita Terbaru