Tidak Harus Berkarunia

HomeBlogTidak Harus Berkarunia

Surat Gembala, 11 Desember 2016

Kita tidak boleh menuntut bukti-bukti lahiriah dan pengalaman fisik, baru kita percaya keberadaan Tuhan. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus percaya walau tidak melihat. Bila Tuhan menunjukkan bahwa ada orang yang percaya walau tidak melihat, itu berarti Tuhan tidak menjamin bahwa Tuhan akan menyatakan diri secara fisik supaya manusia percaya. Walaupun tidak ada tanda lahiriah, kita harus tetap percaya. Pengalaman dengan Tuhan bukanlah pengalaman emosi semata-mata. Kita harus belajar teduh dan meletakkan emosi pada proporsinya. Namun demikian, kita juga tidak boleh membunuh perasaan kita. Kita harus belajar apakah kita sedang menikmati Tuhan atau gelora perasaan kita sendiri. Kita tidak boleh terhanyut dengan “onani rohani” (kepuasan yang dialami tanpa partner). Tuhan adalah Tuhan yang riil yang dapat dinikmati oleh kita dan kita pun dapat dinikmati Tuhan. Dalam hal ini dibutuhkan latihan terus menerus. Harus kita pahami bahwa jarak antara kita dengan Tuhan adalah sejauh iman kita. Bila kita memiliki iman, maka pasti ada perjumpaan antara kita dengan Tuhan. Yang penting adalah percaya saja.

Kita harus berani percaya walau kita tidak merasakan secara fisik. Jangan merasa kurang iman hanya karena tidak memiliki pengalaman yang spektakuler dengan Tuhan, seperti kesaksian banyak orang. Justru ketika kita tidak memiliki pengalaman yang spektakuler dengan Tuhan tetapi kita berani percaya, maka itulah suatu hal yang berkenan di hadapan Tuhan. Kita harus ingat pernyataan Firman Tuhan: “berbahagialah yang percaya walau tidak melihat”. Membiasakan diri percaya dengan cara demikian akan mendewasakan iman kita. Inilah percaya yang benar. Memang untuk memiliki percaya demikian sukar. Inilah dunia akhir zaman yang menjadi semakin ateis. Kondisi ini rawan terhadap iman Kristen. Oleh sebab itu untuk mengimbangi dunia seperti ini, orang percaya harus memiliki pengalaman dengan Tuhan secara langsung, sebab Dia hidup.

 

Kita harus percaya bahwa untuk mengalami Tuhan kita tidak harus memiliki karunia khusus, sebab setiap manusia memiliki anugerah yang sama untuk mengalami Tuhan. Tuhan tidak memandang muka. Kita tidak boleh tertipu dengan suara yang berkata, bahwa hanya orang-orang tertentu yang diperlakukan khusus Tuhan. Setiap anak Tuhan mendapat perlakuan yang sama. Tidak sedikit orang Kristen yang merasa bahwa ia tidak memiliki karunia khusus, ia tidak mendapat perlakuan khusus Tuhan. Kita harus percaya bahwa setiap kita harus berharga di mata Tuhan. Jika ada suara seolah-olah saudara tidak berharga di mata Tuhan, itu suara setan. Dewasa ini telah dikesankan bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki “nilai khusus” atau tempat khusus di mata Tuhan, sehingga mereka boleh mengalami Tuhan secara khusus pula, sedangkan yang lain tidak. Kesan tersebut mengakibatkan: melemahkan gairah jemaat untuk mengalami Tuhan secara pribadi, menuduh Tuhan sebagai Pribadi yang diskriminatif atau pilih kasih dan berlaku tidak adil, telah menipu banyak orang. Sebab biasanya pengalaman pribadi seperti itu tidak disaksikan apa adanya, banyak unsur subyektifnya, bahkan menipu, sebab sebenarnya semua itu fantasi atau imajiner dan mengakibatkan pengkotak-kotakan orang percaya. Seolah-olah dalam Kekristenan ada golongan-golongan. Tanpa sadar membangkitkan kesombongan orang-orang tertentu yang memiliki pengalaman spektakuler. Padahal Tuhan berkata orang yang tidak melihat pun boleh percaya dan berbahagia. Justru kalau untuk percaya seseorang membutuhkan bantuan visual jasmani, hal itu menunjukkan kemiskinan imannya.

“Kita harus percaya bahwa untuk mengalami Tuhan kita tidak harus memiliki karunia khusus, sebab setiap manusia memiliki anugerah yang sama untuk mengalami Tuhan.”

Written by

The author didnt add any Information to his profile yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *