Surat Gembala, 27 September 2015
KAPAL akan berlabuh dengan baik jika jangkarnya dilepaskan, kapal tidak terbawa ombak lagi. Sebesar apa pun kapal, jika tidak melepaskan jangkarnya, maka pasti akan terbawa ombak kembali ke tengah sehingga bisa melakukan bongkar dan muat barang sesuai dengan order.
Jika hidup kita diumpamakan kapal, Tuhan Yesus adalah Nahkoda sekaligus pelabuhan itu sendiri, maka iman kita adalah sauhnya. Sejauh kapal berlayar pasti berlabuh, masalahnya adalah maukah kita memilih pelabuhahan yang tepat? Tuhan melepaskan kita di laut bebas dunia ini bukan tanpa maksud dan tujuan, dan tujuan itu adalah berlabuh kepada kepentingan Tuhan, bukan kepentingan kita. Di laut bebas dunia ini, banyak bertebaran pelabuhan jadi-jadian berupa kenyamanan hidup yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan fisik. Harta, tahta, sahabat, hobi dan berbagai kenyamanan hidup yang lain bisa menjelma menjadi pelabuhan hidup sehingga kapal jiwa kita bisa bersandar dengan ‘nyaman’.
Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu! berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya (Mzm. 34:9). Memahami ayat ini, seseorang sering berpikir bahwa hal itu hanyalah bersifat khayalan belaka. Mengapa? Keinginan daging menuntut pembuktian secara nyata yang langsung bisa dirasakan, sedangkan Tuhan dianggap tidak nyata dan untuk mengecap Tuhan harus dengan cara yang “tidak lazim” (batiniah). Hanya orang yang mau berlindung kepada Tuhan yang bisa mengecap kebaikan Tuhan. Artinya mempercayakan hidup secara all out kepada Tuhan.
Ketika kita berlabuh kepada Tuhan, harus ada yang kita lepaskan, yaitu jangkar atau sauh. Di dalam Ibrani 6:19, dikatakan, pengharapan adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir. Jika harapan kita adalah keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup, ke sanalah arah perahu kita. Manusia digerakkan oleh keinginannya, dan keinginan digerakkan oleh apa yang dipikirkan, pikiran sangat dipengaruhi oleh apa yang masuk melalui mata dan telinga. Warisan nenek moyang kita berupa filosofi dunia yang dibungkus dalam kesantunan bermasyarakat telah melekat kuat dalam diri kita. Belajar yang rajin, berumahtangga yang baik, bekerja keras untuk memperoleh kekayaan dan kehormatan dan lain sebagainya merupakan sebuah anjuran yang tidak melawan hukum, tetapi tanpa disadari telah menarik kita kepada pelabuhan yang salah. Alkitab tidak pernah menentang seseorang untuk hidup nyaman, tetapi Alkitab memberi suara yang keras terhadap pengaruh kenyamanan (1Tim. 6:17, Pkh 5:19-20).
Bukan perkara mudah bagi istri Lot untuk melupakan keindahan dan kenyamanan Sodom dan Gomora sekalipun Tuhan sendiri yang memperingatkan, demikian halnya Yudas. Sehingga ketika Tuhan Yesus memperingatkan bahwa ia akan berkhianat, tetap saja dia tidak mampu keluar dari jeratan kenyamanan itu (Mrk. 14:20). Pelabuhan istri Lot dan Yudas bukan pada Tuhan tetapi pada apa yang bisa memuaskan hatinya. Perasaan egois dalam diri kita adalah tolok ukur apakah kita sudah berlabuh kepada Tuhan atau belum. Jika sikap egois masih menguasai diri kita, sulit rasanya kita menyandarkan perahu kita kepada pelabuhan Tuhan. Selamat berjuang. Amin
“Jika sikap egois masih menguasai diri kita, sulit rasanya kita menyandarkan perahu kita kepada pelabuhan Tuhan.”
Berita Terbaru